aku pernah teringat saat aku berada dalam sebuah jaringan maya diantara sesaknya iklan media massa.
sekarang ternyata malah bertambah jubel dengan nyawa dunia yang kata temanku penuh dengan cinta'cupu' mereka
Archive for June 2009
Thursday, June 25, 2009 § 1
Comments Off
Wednesday, June 17, 2009 § 0
Saturday, June 13, 2009 § 0
Perisai Diri
SMA N 3 Yogyakarta, Padmanaba
Originally written by Suherdjoko, a writer for The Jakarta Post and a Pendekar Muda in Perisai Diri.
SEORANG mahasiswa tiba-tiba saja terkejut ketika melihat sebuah buku bergambar orang dalam sikap beladiri di salah satu rak buku Toko Gunung Agung, tepat di sisi pojok utara perempatan Tugu, di simpang empat Jalan Jendral Sudirman-Jalan Diponegoro - Jl AM Sangaji – dan Jalan Pangeran Mangkubumi, Yogyakarta. Toko buku itu, pada tahun 1977 merupakan satu-satunya yang terbesar dan terlengkap di Kota Pelajar tersebut. Kini (tahun 2008) toko buku tersebut sudah tidak ada lagi.
Rasa ingin tahunya mendorong ia membuka halaman demi halaman buku itu. Di sana , di buku yang dipegangnya, terlihat dengan jelas aneka foto segala gerak beladiri dalam keterangan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. Foto-fotonya pun terpampang lugas sehingga dengan sekali melihat, si pembaca akan tahu apa yang dimaksud dan dimaui dengan gerak tersebut.
Itulah gerakan-gerakan beladiri silat. Buku itu seolah mengungkap tuntas sebuah jurus ilmu silat yang oleh banyak perguruan saat itu dianggap amat sangat rahasia dan tabu untuk diperlihatkan orang lain selain murid-muridnya.
Tetapi, di toko itu, pada tahun 1977; bukan hanya satu jurus yang dideretkan di rak tersebut. Ada beberapa buku lain yang berjudul seperti Burung Kuntul, Burung Garuda, dan Harimau. Siapa gerangan pendekar yang berani melanggar tradisi tabu perguruan silat itu?
Dialah Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo – yang kemudian dikenal dengan sapaan Pak Dirdjo atau Pak Dhe -- salah seorang keturunan bangsawan dari Keraton Pakualaman Yogyakarta, putra dari Raden Mas Paku Soerdirdjo.
Pak Dirdjo-lah pendekar yang menobrak tradisi tabu itu. Beliau sengaja menuliskan ilmu silat yang diramunya itu dan kemudian dinamakan aliran silat Perisai Diri. Di dalam buku itu, lengkap dengan foto-foto tentang gerakan teknik silat dan dijual kepada umum pada tahun 1976. Tujuannya hanya satu: berusaha memperkenalkan beladiri silat seluas-luasnya.
Beliau melakukan itu untuk membuktikan bahwa ilmu silat adalah warisan budaya Bangsa Indonesia yang mampu bersaing dengan ilmu beladiri asing lainnya yang berasal dari Jepang, Korea, maupun Cina yang kala itu berkembang pesat di Indonesia. Silat harus dikembangkan dan dicintai oleh Bangsa Indonesia . Jangan sampai silat tidak berkembang karena terkungkung tradisi tabu dan ketradisionalannya.
Upaya Pak Dirdjo itu membuahkan hasil. Silat Perisai Diri akhirnya bukan hanya berkembang di kampung-kampung, namun telah merambah ke kampus-kampus perguruan tinggi, dan sekolah-sekolah. Silat Perisai Diri telah mampu mengubah pandangan masyarakat dari silat yang dianggap “kampungan” menjadi silat “kampusan”.
Perisai Diri tercatat sebagai perguruan silat yang menggelar kejuaraan antar perguruan tinggi di Indonesia sejak tahun 1975. Setelah itu secara rutin Perisai Diri menggelar kejuaraan nasional antar-perguruan tinggi. Dan hingga tahun 2004 lalu, Perisai Diri telah melaksanakan kejuaraan nasional silat Perisai Diri untuk yang ke-23 kalinya!
Merantau
Pak Dirdjo yang lahir pada 8 Januari 1913 ini sudah terlihat bakat yang menonjol dalam kemahirannya menguasai beladiri silat pada usia kanak-kanak. Pada umur 9 tahun, misalnya, ia telah mampu menguasai ilmu silat yang diajarkan di lingkungan Paku Alaman bahkan mampu pula melatih silat rekan-rekan sepermainannya.
Tampaknya Pak Dirdjo yang pada masa kecilnya dipanggil Soebandiman atau Bandiman oleh rekan-rekannya, tidak puas dengan ilmu silat yang ditelah didapatkannya di lingkungan tembok istana Paku Alaman itu. Setelah menamatkan HIK (Hollands Inlandsche Kweekchool -- sekolah setingkat Sekolah Menengah Pertama jurusan guru pada masa itu) di Yogyakarta, Pak Dirdjo yang berusia 16 tahun mulai merantau untuk memperluas pengalaman hidupnya.
Pak Dirdjo melangkahkan kakinya ke arah Timur. Ia menuju Jombang di Jawa Timur. Di sana ia berguru kepada Bapak Hasan Basri dalam ilmu silat, dan belajar ilmu keagamaan dan ilmu lainnya di Pondok Tebu Ireng. Untuk membiayai keperluan hidupnya, ia bekerja di Pabrik Gula Peterongan.
Setelah merasa cukup berguru di Jombang , ia melangkahkan kakinya menuju ke Barat ke kota Solo di Jawa Tengah. Di kota ini ia berguru kepada Bapak Sayid Sahab dalam bidang ilmu silat. Di samping itu ia juga melengkapi ilmunya dengan berguru kepada kakeknya sendiri Ki Jogosurasmo.
Pemuda Soebandiman ini belum puas mereguk ilmu. Ia kembali berguru ke Bapak Soegito yang beraliran silat Setia Saudara (SS). Rasa keingintahuan yang besar pada ilmu beladiri menjadikan pemuda ini masih belum merasa puas dengan apa yang telah ia miliki. Soebandiman alias Pak Dirjo muda ini meneruskan berguru ke Pondok Randu Gunting di Semarang, ia masih melengkapi ilmu silatnya ke Kuningan di daerah Cirebon , Jawa Barat. Semua ilmu yang didapatnya itu diolah dan melebur dalam dirinya.
Setelah merasa cukup, pemuda yang telah dewasa ini menetap di Banyumas dan mendirikan perguruan silat Eka Kalbu (Eka yang berarti satu hati). Dalam pergaulannya di kalangan ahli beladiri di Banyumas, pemuda ini bertemu dengan seorang suhu bangsa Tionghoa, Yap Kie San, yang beraliran beladiri Siauw Liem Sie.
Sekali lagi, pemuda yang haus ilmu itu berteman dan berguru kepada Yap Kie San. Selama 14 tahun pemuda ini berguru kepada Yap Kie San. Ada enam saudara perguruannya yang bertahan lama diasuh oleh Suhu Yap Kie San. Empat adalah bangsa Tionghoa, dan dua lainnya dari Jawa yaitu Pak Broto Sutarjo, dan Pak Dirdjo.
Dalam masa perguruannya itu, Suhu Yap Kie San menilai Pak Dirdjo sebagai pemuda yang berbakat. Suhu Yap Kie San menghadiahi Pak Dirdjo sepasang pedang sebagai symbol kecintaan guru kepada murid terkasihnya.
Bak kata pepatah, sejauh-jauhnya burung terbang nanti akan kembali ke sarangnya juga; demikian pula Pak Dirdjo. Beliau akhirnya kembali ke Yogyakarta . Di Kota Budaya ini Pak Dirdjo diminta mengajar ilmu silat di Taman Siswa, sebuah sekolah yang didirikan oleh tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantoro yang juga pamannya.
Pak Dirdjo tidak begitu lama mengajar silat di Taman Siswa, sebab ia harus bekerja di Pabrik Gula Plered di kawasan Yogyakarta juga. Di pabrik gula ini ia menduduki jabatan Magazie Meester.
Lalu pada tahun 1947-1948, berkat pertolongan dari Bapak Djumali yang bekerja di Departemen Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pak Dirdjo diangkat menjadi pegawai negeri di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Seksi Pencak Silat. Dengan misi mengembangkan silat itu, Pak Dirdjo kemudian mengajar Himpunan Siswa Budaya (sebuah unit kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada). Jelas saja para muridnya adalah para mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada awal-awal berdirinya kampus tersebut. Pak Dirdjo juga membuka kursus silat di kantornya.
Beberapa murid Pak Dirdjo kala itu seperti Mas Dalmono (Ir Dalmono – kabar terakhir ia belajar dan kemudian bekerja di Rusia), Mas Suyono Hadi (Prof DR Suyono Hadi – telah meninggal dunia dan bekerja sebagai dokter dan dosen Universitas Padjadjaran Bandung), serta Mas Bambang Moediono alias Mas Whook.
Ketika tahun 1953 Pak Dirdjo mulai pindah ke Surabaya berkaitan dengan tugasnya sebagai pegawai negeri di Kantor Kebudayaan Jawa Timur Urusan Pencak Silat, maka murid-muridnya di Yogyakarta yang berlatih di UGM maupun di luar UGM bergabung menjadi satu dalam wadah bernama Himpunan Penggemar Pencak Silat Indonesia (HPPSI) dengan diketuai oleh Mas Dalmono.
Sementara itu di Surabaya, Pak Dirdjo kembali mengembangkan ilmu silat dalam kursus-kursus silat di lembaganya. Baru pada tanggal 2 Juli 1955, Pak Dirdjo dibantu Pak Imam Ramelan secara resmi menamakan silat yang diajarkan dengan nama Perisai Diri. Para muridnya di Yogyakarta pun kemudian menyesuaikan diri menamakan himpunan mereka sebagai Silat Perisai Diri.
Di sisi lain, perguruan Eka Kalbu yang pernah didirikan oleh Pak Dirdjo secara alami murid-muridnya masih berhubungan dengan Pak Dirdjo. Mereka tersebar di kawasan Banyumas, Purworejo, dan Yogyakarta . Hanya saja perguruan ini kemudian memang tidak berkembang, namun melebur dengan sendirinya ke Perisai Diri, sama seperti HPPSI di Yogyakarta. Satu guru menjadikan peleburan perguruan ini menjadi mudah.
Para murid Pak Dirdjo sebelum nama Perisai Diri muncul hingga kini (tahun 2008) masih hidup. Usia mereka berkisar antara 65 tahun hingga 70 tahun lebih dan masih bias dijumpai di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya.
Berbahasa Indonesia
Segala teknik silat Perisai Diri ditulis dalan bahasa Indonesia yang baku . Hal itulah yang menjadikan Perisai Diri lebih mudah diterima oleh kalangan terdidik seperti mahasiswa. Penulisan teknik dalam bahasa Indonesia baku sebenarnya harus diakui sebagai langkah maju tersendiri dibandingkan perguruan lain yang masih berkutat dengan bahasa daerah asal perguruan itu berkembang.
Bahkan dengan nasionalismenya itu, Perisai Diri akhirnya bisa diterima di semua kalangan beragam suku, agama, maupun strata sosial. Dapat dipelajari oleh seluruh penduduk Indonesia yang tinggal di 17.000 pulau.
Motto Perisai Diri “Pandai Bersilat Tanpa Cedera” yang juga bermakna pandai beladiri tanpa cedera, makin membuat beladiri ciptaan Pak Dirdjo bisa dipahami dengan logika. Pecinta beladiri akan mengerti bahwa seorang ahli beladiri memang sulit untuk dicederai lawan. Bisa juga berarti dalam berlatih pun ia tidak akan cedera karena kesalahan sendiri.
Unsur kecepatan dalam beladiri menjadi pegangan Pak Dirdjo. Ia mewajibkan para muridnya mampu melakukan gerakan silat minimal dua gerak dalam satu detik. Gerakan itu bisa berupa serangan, hindaran, tolakan, tebangan, ataupun paduan unsur-unsur itu. Jadilah Perisai Diri menciptakan gaya silat SATU DETIK DUA GERAK.
Istilah satu detik dua gerak itu semula dianggap sepele oleh banyak pendekar maupun pecinta silat. Akan tetapi semakin mereka banyak menyaksikan pertandingan silat yang mulai digelar sejak 1970-an, para pendekar silat maupun pecandu beladiri lain semakin memahami misteri kata “satu detik dua gerak” tersebut. Hanya seorang ahli beladiri nan piawai saja yang mampu bergerak secepat itu.
Sementara diakui atau tidak, nama-nama teknik silat Perisai Diri kini sudah diadopsi di kancah persilatan. Istilah tendangan Sabit, kemudian tendangan T (baca TE), bahkan sapuan; misalnya, sudah menjadi bukti bahwa keinginan Pak Dirdjo terwujud. Istilah itu dipakai di dunia persilatan. Bila kemudian ada beberapa perguruan baru muncul dengan menggunakan teknik Perisai Diri, itupun tidak pernah dipermasalahkan. Mungkin, para murid Pak Dirdjo pun -- tanpa setahu mereka --, kini memiliki lebih banyak saudara perguruan karena menyerap ilmu yang sama dengan nama perguruan yang berbeda.
Ada 19 macam teknik tangan kosong yang disebut teknik asli di Perisai Diri seperti Jawa Timuran, Minangkabau, Betawen, Cimande, Burung Mliwis, Burung Kuntul, Burung Garuda, Kuda Kuningan, Lingsang, Harimau, Naga, Satria Hutan, Satria, Pendeta, Putri Bersedia, Putri Sembahyang, Putri Berhias, dan Putri Teratai.
Bukan melulu teknik tangan kosong, para murid pun diajari berbagai senjata mulai dari pisau, pedang, toya, senjata lempar, sampai dengan pengembangan dari senjata-senjata itu seperti rantai, cambuk, tombak, dan lain-lainnya.
Pak Dirdjo selalu berpesan kepada murid-muridnya agar menguasai ilmu silat haruslah dengan cara mendaki dan memanjat, bukan dengan melompat. Untuk memahami ilmu silat memang memerlukan kerajinan, ketekunan, kesungguhan, dan disiplin.
Pak Dirdjo wafat usia 70 tahun, ditunggui para muridnya di Surabaya pada 9 Mei 1983. Pada tahun 1986, beliau mendapat gelar Pendekar Purna Utama dari Pemerintah Republik Indonesia .
Niat Pak Dirdjo untuk mengembangkan silat akhirnya tercapai juga. Meskipun ia belum bisa menikmati kejayaan murid-muridnya di arena beladiri silat, namun secara pasti teknik Perisai Diri ciptaannya telah merajai di beberapa pertandingan silat secara internasional.
Nama-nama seperti Joko Widodo, Herina (asal Yogyakarta), Tony Widya (Jakarta), Tri Wahyuni (Malang), Wadiah (Mataram), Suryanto, Samiaji (Bandung), A Triya (Surabaya), mampu malang melintang di kejuaraan internasional pencak silat sejak kejuaraan internasional itu digelar tahun 1987 hingga 1995.
Keharuman nama Perisai Diri masih dilanggengkan oleh pesilat Made Arya Damayanti, Ayu Ariati, Ni Nyoman Suparniti, dan I Nyoman Yamadhiputra ( Bali ) pada periode 1995 - 2005. Arena nasional hingga dunia mereka jelajahi dengan teknik Perisai Diri dengan memperoleh medali emas.
Pendekar pendobrak tradisi tabu itu pula yang akhirnya mampu meyakinkan orang-orang Eropa seperti Belanda (1970), Jerman (1983), Inggris, Swiss (1999), Hongaria, Australia (1979), Amerika Serikat (2000), Thailand (1995), Filipina (1995), bahkan Jepang (1996) untuk mempelajari Silat Perisai Diri. Silat mudah diterima, bisa dilogika. Silat sudah mendunia.
Lagi-lagi, di luar Indonesia, murid-murid Pak Dirdjo di Eropa, Amerika, dan Australia mampu menunjukkan bahwa beladiri khas Indonesia itu mampu mengibarkan benderanya di pertarungan antar-aliran beladiri di sana.
Tidak mengherankan jika penulis aliran beladiri seperti Donn F Draeger menulis silat Perisai Diri dalam bukunya The Weapons and Fighting Arts of Indonesia pada tahun 1972. Akan tetapi ia belum puas. Jika dalam buku pertamanya ia menulis beberapa gaya perguruan pencak silat di Indonesia; maka ia kembali mengupas lebih dalam untuk silat Perisai Diri pada buku keduanya yang berjudul: Javanese Silat: The Fighting Art of Perisai Diri pada tahun 1978.
Penjelasan secara detil disertai bukti praktik dalam bersilat yang ditunjukkan Pak Dirdjo yang membuat Draeger bertekuk-lutut mengakui bahwa Perisai Diri memang layak mendapat tempat khusus. Foto-foto Pak Dirdjo dalam bersilat ditemani para muridnya di Surabaya memenuhi halaman buku keduanya tersebut.
Tidak berlebihan jika saat ia dipanggil Tuhan Yang Maha Esa, jumlah muridnya yang tersebar di Indonesia dan beberapa negara telah mencapai 50.000 lebih sehingga menempatkan Perisai Diri sebagai salah satu perguruan besar di antara 800 perguruan silat di Indonesia. (***)
DUNIA BARU YANG INGIN KUKENAL.
belum lengkap rasanya suatu nikmat dunia tanpa mengisinya dengan kehebatan alam dan berbagai komponenya,
manusia
hewan
tumbuha
bahkan robot
dan alat elektronik lainnya,
dunia baru yang ingin ku kenal mempunyai itu semua,
akan jadi abadi, mungkin
tapi tetap saja ia tak bisa mengatakan sesuatu,
satuhal, ia butuh teman
sebuah lukisan, foto, maupun benda
ia takkan bisa bersuara seperti halnya kita yang biasa mencela suara-suara
mereka butuh sesuatu,
duniaku yang ingin ku kenal
aku butuh keindahan warnamu,
dan hangatnya kata-kata dalam goresan sajak hidup
biarkan aku mengenalmu...percayalah!
perisai diri,
Originally written by Suherdjoko, a writer for The Jakarta Post and a Pendekar Muda in Perisai Arts.
A student suddenly just surprised when I saw a picture book in the martial attitude in one of the book shop shelves Gunung Agung, the right hand corner of the north perempatan Tugu, four road corner in the Sudirman-Jalan Diponegoro - Jl Sangaji AM - and Prince Street Mangkubumi, Yogyakarta. Book store that, in the year 1977 is the only one of the largest and it is in the City of Students. Now (in 2008) book store is no more.
Pain tahunya want to encourage it to open the page for the book page. There, in the book that dipegangnya, clearly visible with a variety of images every movement in the martial description language that is easily understood. Photos terpampang is so simple with a single view, the reader will know what is and is dimaui with the movement.
That's movements silat martial. The book was as if a moment reveals thorough knowledge of silat by many universities at that time considered to be highly secret and taboo to be people other than students.
However, in the shops, in the year 1977; not only one moment that dideretkan in the rack. There are several other books, entitled, such as Birds heron, bird Garuda, and relax. Pendekar who dare to violate the traditions of college silat is taboo?
He Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo - which was then known as hail or Dirdjo Pak Pak Dhe - a patrician's palace Pakualaman Yogyakarta, the son of Raden Mas Soerdirdjo Paku.
Pak-lah Dirdjo Pendekar menobrak that tradition is taboo. He deliberately write science diramunya silat which is called and then the flow of Silat Perisai Arts. In the book, complete with photos of silat movement techniques and sold to the public in 1976. Only one aim: silat martial seeks to introduce area-width.
He do that to prove that science is silat cultural heritage of India that can compete with other foreign martial knowledge that comes from Japan, Korea, China and the mare is growing rapidly in Indonesia. Silat must be developed and loved by the nation of Indonesia. Do not grow up because it does not silat terkungkung tradition and taboo ketradisionalannya.
Pak Dirdjo efforts that produce results. Arts Silat Perisai eventually not only developed in villages, but have penetrated to the college-campus universities, and schools. Silat Perisai Arts has been able to change society's view of silat which is considered "plebeian" to silat "kampusan".
Perisai Up as the university noted that the silat championship between universities in Indonesia since 1975. After that routinely Perisai Arts championship for the national inter-university. And until 2004, Perisai Arts has conducted a national silat championship Perisai Up to the 23-time!
Going away
Dirdjo Pak, who was born on 8 January 1913 had already seen a standout talent in the martial kemahirannya silat at the age child. At the age of 9 years, for example, he has been able to master the science of silat taught in an environment Paku Alaman even afford the train silat colleagues sepermainannya.
Pak Dirdjo seems that the small Soebandiman or Bandiman called by colleagues, not satisfied with the knowledge of silat ditelah didapatkannya in the environment of the palace wall Paku Alaman that. Once complete HIK (Hollands Inlandsche Kweekchool - schools at the Junior High School faculty teachers at that time) in Yogyakarta, Pak Dirdjo aged 16 years began to wander to expand their life experiences.
Pak Dirdjo melangkahkan feet to the East. He was the Jombang in East Java. There he was to act, Mr. Hasan Basri silat in science, learning science and religious knowledge and other sugar cane in Pondok IRENG. To pay for the purpose of his life, he worked at the Sugar Peterongan.
After feeling quite act in Jombang, he melangkahkan feet to the West to the city of Solo in Central Java. In the town to act like he was Mr. Sayid Sahab in the field of science silat. In addition, it also complements the knowledge to act with self Ki Her grandfather Jogosurasmo.
Youth Soebandiman this has not been satisfied mereguk science. He returned to the act that Mr. Soegito beraliran Silat Setia Saudara (SS). Pain keingintahuan a great knowledge on the martial youth are still not satisfied with what he has had. Soebandiman alias Pak Dirjo young forward is to act Pondok Randu scissors in Semarang, he was still to complete the science silatnya Kuningan area in Cirebon, West Java. All knowledge is processed and didapatnya fuse in itself.
After feeling quite, young adults who have lived in this Banyumas and establish university silat Eka Kalbu (Eka means one heart). In the world among experts in the martial Banyumas, this young man met with a temperature of Chinese nation, Yap Kie San, a martial beraliran Sie Siauw Liem.
Once again, the youth who are thirsty of knowledge and to act Yap Kie San. During the 14 years this young man to act Yap Kie San. There are six brothers perguruannya who survive long diasuh by Yap Kie San temperature. Four is the Chinese nation, and the other two from the Pak Broto Sutarjo, and Pak Dirdjo.
In the perguruannya, the temperature Yap Kie San Pak Dirdjo rate as a talented young man. Temperature Yap Kie San compliment Pak Dirdjo pair sword as symbol beloved teacher to students terkasihnya.
Bath saying a word, far, far away birds will fly back to the nest; similarly Dirdjo Pak. He eventually returned to Yogyakarta. In the City of Culture this Pak Dirdjo silat knowledge required to teach students in the Park, a school founded by leaders of national education Ki Hadjar Dewantoro who is also uncle.
Pak Dirdjo not so long to teach Silat in Taman Siswa, because he must work in the Sugar Plered also in the area of Yogyakarta. Sugar factory in this position he occupied Magazie Meester.
Then in 1947-1948, thanks to help from Mr. Djumali who worked at the Ministry of Education Yogyakarta, Pak Dirdjo was a civil servant in the environment of the Department of Education and Culture Section at the Pencak Silat. With the silat mission to develop, and teach Pak Dirdjo Student Cultural Association (a unit of the student of Gadjah Mada University). Clearly, only the student is the student of Gadjah Mada University in the early-early on campus. Pak Dirdjo course also opened offices in silat.
Some students Pak Dirdjo mare is like Mas Dalmono (Ir Dalmono - latest news and then he learned to work in Russia), Mas Hadi Suyono (Prof. DR Suyono Hadi - has died, and worked as a doctor and lecturer the University of Padjadjaran Bandung), and Mas Bambang Moediono alias Mas Whook.
When the year 1953 Pak Dirdjo start to move to Surabaya related to the duties as civil servants in the East Java Office Cultural Affairs Pencak Silat, the students in Yogyakarta who practice in and outside UGM UGM be joined in one case called Himpunan Enthusiasts Pencak Silat Indonesia ( HPPSI) with diketuai by Mas Dalmono.
Meanwhile, in Surabaya, Pak Dirdjo back in silat develop science courses at the institution silat. New on July 2, 1955, Pak Pak Imam Dirdjo assisted Ramelan officially named silat that is taught with the name Perisai Arts. The students in Yogyakarta also then adjust them as the collective name Silat Perisai Arts.
On the other hand, universities Eka Kalbu that was founded by Mr. Dirdjo naturally students are still in touch with the Pak Dirdjo. They were scattered in the area Banyumas, Purworejo, and Yogyakarta. But the university and this is not developed, but the fuse itself to Perisai Arts, the same as HPPSI in Yogyakarta. One teacher made the dissolution to be easy this university.
Pak students Dirdjo Perisai Up before the name appears up to now (year 2008) is still alive. Their age ranged from 65 years to 70 years and is still found in the area of Yogyakarta and surrounding areas.
Indonesian
All Perisai Arts silat techniques written in the language of a standard. Things that make it easier Perisai Arts received by the educated as students. Writing skills in standard English should be recognized as an actual step forward compared to retired university that still berkutat with the origin of language instruction is growing.
Even with the nasionalismenya, Perisai Arts finally be accepted in all the diverse ethnic, religious, and social strata. Can be learned by all the Indonesian people who live in the 17,000 islands.
Motto Perisai Up "Pandai Bersilat Without Injury" which also means clever martial without injury, making the creation of martial Dirdjo Pak can be understood with logic. Martial lovers will understand that an expert martial dicederai really difficult for the opponent. Can also mean that in practice it will not be any injury from their own mistakes.
Element of speed in a strangle martial Dirdjo Pak. He requires that the students were able to conduct at least two movements silat movement in one second. Movement that can be attacks, hindaran, refusal, felling, or blend the elements. Be Up Shield creates style silat movement TWO SINGLE sec.
A second two-term movement is considered to be trivial by many lovers and Silat Pendekar. However, the more they see the many who start the match silat held since 1970s, the Silat Pendekar habitue and other martial understand the mystery of the words "one two-second movement" is. Only an expert martial nan piawai are able to move as quickly as that.
Meanwhile, recognized or not, the names Perisai Arts silat techniques already adopted in the present stage persilatan. Term crescent kick, then kick Q (see TE), and even wipe; for example, has become evident that the desire Pak Dirdjo realized. The term is used in the world persilatan. If then there are some universities appear to use new techniques Perisai Arts, itupun never dipermasalahkan. Perhaps, the students also Dirdjo Pak - as far as one without them - now have many more relatives to absorb science education because the same name with a different university.
There are 19 kinds of empty hand technique which is called in the original technique Perisai Up Timuran such as Java, Minangkabau, Betawen, Cimande, Mliwis Birds, Birds heron, Garuda Birds, Horses Kuningan, Lingsang, tiger, Naga, Forest Satria, Satria, Priest, daughter Bersedia , prayer daughter, Putri titivate, and Putri Teratai.
Not only empty hand techniques, students are taught a variety of weapons ranging from knives, swords, Toya, throwing weapons, until the development of weapons such as the chain, whip, spear, and others.
Pak Dirdjo always to instruct students that the science must be silat way uphill and shin, not the jump. To understand it requires knowledge of silat, diligence, sincerity, and discipline.
Pak Dirdjo died age 70 years, the ditunggui students in Surabaya on 9 May 1983. In the year 1986, he obtained a degree from Pendekar Purna Main Government of the Republic of Indonesia.
Pak Dirdjo intention to develop silat also finally achieved. Although he can not enjoy the triumph of students in the silat martial arena, but surely the techniques have been Perisai Up ciptaannya rule in some of the international silat.
Names such as Joko Widodo, Herina (origin of Yogyakarta), Tony Widya (Jakarta), Tri Wahyuni (Malang), Wadiah (Mataram), Suryanto, Samiaji (Bandung), A Triya (Surabaya), able to thwart the sinister international championship pencak silat since the international championship was held in 1987 until 1995.
Fragrancy name still dilanggengkan Up Shield by pesilat Made Arya Damayanti, Ayu Ariati, Ni Nyoman Suparniti, and I Nyoman Yamadhiputra (Bali) in the period 1995 - 2005. National arena to explore their world with Up with the technique Perisai obtain a gold medal.
Pendekar housebreaker taboo tradition, she also finally able to convince people such as Europe Netherlands (1970), Germany (1983), the UK, Switzerland (1999), Hungary, Australia (1979), United States (2000), Thailand (1995), Philippines (1995), and even Japan (1996) to learn Silat Perisai Arts. Silat easily accepted, can dilogika. Silat is the world.
Again, outside of India, Pak students Dirdjo in Europe, America, Australia and is able to show that the typical martial Indonesia is able to put in benderanya inter-flow contention martial there.
Not surprisingly, if the flow of writers such as martial Donn F Draeger write Silat Perisai Arts in his book The Weapons and Fighting Arts of Indonesia in 1972. But he has not been satisfied. If in the first book he wrote some college-style Pencak Silat in Indonesia, then peel it back in for more silat Perisai Arts in both the book entitled: Javanese Silat: The Fighting Art of Perisai Arts in 1978.
Explanations are accompanied by detailed evidence of the practice in bersilat shown Pak Dirdjo make Draeger a crumpled-knee acknowledge that the Arts are eligible Perisai get a special place. Photos Pak Dirdjo in bersilat accompanied the students in Surabaya meet both the book page.
No over-time if he is called God, the number of students who are in Indonesia and some countries have reached 50,000 so that more places Perisai Arts as one of the great universities of the 800 tertiary silat in Indonesia. (***)
http://www.silatperisaidiri.com/index.php/Latest/History.html
Friday, June 12, 2009 § 0
Converted by tmwwtw for LiteThemes.com